1 Januari 2014
(Lila)
Terlahir sebagai seorang anak pengidap berbagai
penyakit komplikasi yang membuatku sulit tuk beradaptasi dengan lingkunganku.
Kesuraman masa depan yang selalu menghantuiku karena fisikku yang begitu lemah.
Akan tetapi, hal ini dapat tertutupi dengan keadaan orang tuaku yang cukup
berada. Andaikan aku dilahirkan dari keluarga fakir, aku rasa aku telah tiada
di dunia ini.
Entah berapa banyak obat-obatan yang kutelan,
melewati tenggorokanku, beroperasi di dalam tubuhku. Aku berusaha mensyukuri
detak jantung dan denyut nadiku di antara
senyum dan kebimbangan diriku, maupun orang tuaku. Walau terkadang, aku
mengutuk, menggerutuki diriku sendiri yang hadir ke dunia membawa lingkaran kesukaran
buat orang-orang di sekitarku. Seolah parasit yang pernah hadir di alam semesta
ini.
Terhenti sejenak dalam aktivitas kualami kembali
tadi pagi. Asmaku kambuh walaupun hanya beberapa menit berlalu karena papa dan mama telah siap dengan segala kemungkinan
yang terjadi padaku dalam setiap detik. Karena kasih sayangnya, mereka
menyiapkanku alat-alat yang mempermudah untuk mengatasi seketika saat penyakitku
kambuh. Terkadang aku malu sendiri karena telah menyusahkan mereka, namun
ketulusan mereka membuatku tegar menjalani
beratnya
hidupku.
Kenyataan pahit, tetapi sembilan puluh sembilan persen
lebih baik telah menguatkan tekad papa
yang harus kuterima dengan lapang dada. Kami harus pindah ke
pedesaan. Keputusan papa
sudah bulat, aku harus menjalani terapi dengan hidup di desa yang bersih.
Kuanggukkan kepala dengan setengah hati. Tak ada alasan untukku menolak secara
jelas. Kali ini aku mundur,
mungkin
tuk mengalah.
Hanya saja sekejap mata aku terdiam tuk berpikir,
dapatkah aku beradaptasi dengan lingkungan baruku? Sejenak terlintas bayangan yang begitu asing. Aku
bukanlah sang pemilik
sifat ceria, malah cenderung pemurung dan pendiam. Sepengetahuanku, di pedesaan
kehidupan amatlah karib. Sedangkan aku lebih senang berdiam diri di rumah atau
mengurung diri di kamar. Aku cuek dengan lingkunganku karena aku tak butuh
mereka, tak ada yang memperdulikanku, pikirku.
* * *
* *
29 Februari 2014
(Rudi)
Mengagumimu sedari pertama melihatmu lewat kata-kata
sederhana yang tak terucapkan. Walau menoleh sedikitpun tiada kau mau. Enggan
tuk bertegur sapa dalam ikatan persaudaraan teman sekelas. Teman-teman
mengatakan kau begitu angkuh
dan sombong, seolah alergi terhadap kami, tetapi hal itu tidak berlaku bagiku. Aku tahu, dibalik
mata indahmu yang redup, menyimpan suatu luka atau penderitaan yang tak kutahu
jelas alasannya. Aku tak berani bertanya langsung. Aku takut melukaimu.
Kau manis, tetapi pelit pada senyuman. Sebulan sudah
kita sekelas, tapi kau tak pernah tersenyum. Berbicara pun ala kadarnya saat
pelajaran berlangsung. Kau cerdas, tetapi tak hendak menunjukkannya. Jika kau
berdiskusi atau mencalonkan menjadi ketua OSIS, aku yakin banyak yang
memihakmu. Kau anak orang kaya, sedangkan aku berasal dari keluarga sederhana.
Kecut nyaliku berhadapan di depanmu. Mereka dari keluarga elit saja, kau tak
perdulikan, apalagi aku. Walaupun tampilanmu terlihat biasa dan cenderung
sederhana. Namun, apapun bagiku kau terlihat istimewa.
* * *
* *
11 Maret 2014
(Lila)
Aku menangisi kekejaman hidupku. Menyendiri tanpa
seseorang yang rela menjadi temanku tuk mendengar keluh kesahku. Aku
menginginkan kehidupan nyata yang apa adanya. Beberapa minggu telah kulalui,
namun belum seorang temanpun yang kukenal. Aku hanya mengetahui namanya dari
bibir sang guru yang menyebut nama siswanya satu persatu. Sekalipun dia yang
duduk di sampingku. Lingkungan yang begitu dingin seakan tak menerima
kehadiranku.
Pengagum rahasiaku. Aku tak tahu siapa dia dan
mungkin tak ingin tahu. Lukisan kata-katanya begitu indah kubaca, namun apabila hendak kuserap, tetap saja terasa bagiku
hampa. Aku rasa, dia hanya
mempermainkanku. Nurani yang agaknya telah membeku dalam kesunyian. Aku tak
butuh mereka. Benarkah ungkapan ini? Tetapi mengapa aku mendamba seorang teman.
Pertanyaan atas jawaban yang belum dapat kuterima hingga saat ini. Aku meresapi
kesendirianku dalam diam. Sepi…
* * *
* *
15 April 2014
(Rudi)
Tak ada reaksi atas surat rahasiaku. Apakah kau
benar-benar angkuh? Aku kini
mulai
ragu. Tetapi tak ada alasan yang kuat tuk menyatakan kesombonganmu. Ataukah
tulisanku tak menyentuh hati
nuranimu untuk sedikit melirik orang di sekitarmu?
Mungkinkah kau rindukan masa lalumu? Kenanganmu ketika bersekolah di daerah
perkotaan? Atau kau tidak betah bersekolah di kampung halaman tempat kami bernaung? Aku hanya menyusun pertanyaan
tanpa bermaksud menuduhmu. Aku hanya pengagum rahasiamu.
Baiklah. Aku akan mencoba menyapamu ketika esok sang
mentari menampakkan diri. Saat cerahnya pagi datang, kuharap senyum pertamamu
di sini menjadi milikku. Terlalu puitis dan
mendamba, tetapi aku bukanlah orang yang berjiwa pengecut dan mudah putus asa.
Kerikil dan jurang terjal dalam rentang kehidupan saja mampu kulalui. Aku telah
terbiasa dengan kerasnya kehidupan. Tetapi tak bermaksud tuk menaklukkan dirimu
dan memikat hatimu. Hidup adalah sebuah proses. Setidaknya menjadi temanmu
merupakan kebahagiaan dan kebanggaan tersendiri yang kini tengah hadir dalam
khayalku.
* * *
* *
17 April 2014
(Lila)
Apakah aku terlihat begitu sombong dengan dunia luar? Teman-teman yang menyapa, kuabaikan begitu saja. Sering pula kutinggalkan tanpa
respon. Kini aku mulai
berpikir ulang, mereka yang tak bersahabat denganku atau
aku yang berusaha menjauh dari dunia ini? Aku hanya tak ingin bersikap
berlebihan. Aku butuh seseorang yang dapat mengikuti jalan pikiranku dan
membenahi atau meluruskannya secara perlahan ketika dalam perjalanan. Bukan
menuangkannya dalam bentuk nasehat yang menyulut amarah, memuakkan aku.
Jika di hari esok aku merasakan mood yang bagus, aku
berharap akan ada kesempatan
mereka
kembali menegurku, maka akan kusambut uluran tangan itu. Ya, hanya sekedar
menyemarakkan suasana. Mencairkan keadaan di sekelilingku yang terasa asing.
Aku bukannya tak ingin menjadi bagian dari kalian, menyombongkan diri seolah
ratu seperti dalam pikiran kalian. Tetapi aku tak ingin kecewa dengan
karakterku yang dianggap aneh ini. Aku malah justru takut akan mempermalukan diriku sendiri di hadapan kalian.
* * *
* *
21 Juni 2014
(Rudi)
Kau tampak anggun dengan jilbab yang membalut
wajahmu dengan rapi. Manis. Layak jika ku beri salam daripada kata selamat
pagi, begitu pikirku. Walaupun janggal karena selama ini tak pernah kudengar
ada seseorang yang mengucapkan salam padanya. Tapi aku akan mencoba karena
bukankah menjawab salam merupakan sebuah kewajiban bagi seorang muslim. Aku yakin akan ada reaksi.
“Assalamu’alaikum”
Kau mengangkat kepalamu dan mendesis pelan,
“Wa’alaikum salam,” dan tersenyum kecil.
Terima kasih. Aku melonjak kegirangan walaupun tak
di depanmu. Seharian aku senyum sumringah
mengingat kejadian pagi tadi. Usahaku tak sia-sia hari ini. Semuanya menjadi melebur dalam rasa yang bercampur aduk.
Namun yang ku risaukan, akankah esok hari, berlaku momen yang sama. Aku
berharap tak ada satupun momen
istimewa yang
akan
terlewat esok walaupun di dalam
detik
yang berlainan.
Kelak kau harus tahu, perlahan aku menimbun kasih
sayang dalam hatiku. Aku biarkan ia hidup dan kupupuk karena aku tak ingin
membiarkannya layu ataupun mencabutnya secara paksa. Kasih ini berlaku dalam banyak
posisi. Entah sebagai teman, sahabat, saudara, atau kekasih. Anganku
mengharapkan sebuah kedudukan yang terbaik sebagai pilihan hidup. Yang penting,
sekarang aku sayang kamu.
* * *
* *
22 Juni 2014
(Lila)
Benarkah? Sungguh seperti harapanku di hari kemarin
bahwasanya ada seseorang yang menegurku, justru malah dengan salam yang sopan pula.
Subhanallah. Tetapi
ada yang kuragukan. Aku tak mengetahui namamu, mengenalmu, bahkan mengingat
wajahmu. Apakah kau hanya mengejekku atau setulus hatimu? Tahukah kau? Aku
berharap penggemar rahasiaku seperti dirimu.
Tak kusangka, Tuhan begitu baik kepadaku.
Mengabulkan permintaanku lebih dari apa yang kuharapkan. Pikiranku melayang
bersama khayal dalam harapan yang terus meninggi. Takkan kubiarkan harapanku
lepas di awan. Kan kupegang erat. Tapi, mengapa aku terlalu berlebihan
menanggapi hal ini? Aku tak perduli, yang penting aku sedikit lebih senang.
* * *
* *
Ternyata pertemuan yang bukan untuk pertama kali itu
menghanyutkan Rudi dan Lila. Berharap keajaiban antara satu sama lain. Masa
yang indah belum terjamahkan oleh
usia jagung mereka. Masih dalam lorong waktu yang kelak kan
menggapai mereka dalam dimensi waktu yang berjalan bersama detak jantung yang
bertambah. Larut dalam mimpi
mengukir cerita membuat kondisi Lila jauh lebih baik daripada yang sebelumnya.
Setidaknya ada yang menghapus setitik kesepian dan kejenuhannya untuk terus
berdiri di dunia ini.
“Kita sahabat?”
tanya Rudi sambil mengacungkan jari kelingkingnya yang kemudian disambut oleh
Lila.
“Oke”.
Berminggu-minggu
dijalani dengan aktivitas baru dan nuansa baru, lantas membuat Lila merasa
suasana desa jauh lebih hangat daripada di kota yang hiruk pikuk dengan problem kehidupan. Lila kerap kali tersenyum
mengembang dengan keakraban yang merakyat, bisa tertawa lepas manakala Rudi
mengajaknya bermain ke sawah, bisa belajar mengungkapkan apa yang
dirasakannya, yang kini tak selalu
dipendamnya lagi dalam kesepian.
* * *
* *
11 Juli 2014
(Lila)
Aku merasa sangat
bahagia. Ada secercah cahaya di hidupku, seorang insan berhati malaikat yang
dikirim Tuhan untukku tatkala aku merasa bahwa Tuhan itu tidak adil.
Terimakasih Tuhan. Hari-hariku yang dahulunya penuh kebosanan dan kekecewaan,
kini telah berubah seratus delapan puluh derajat. Aku bisa tertawa, bernyanyi,
menari sesukaku, berlari bebas ke sana kemari. Bahkan aku bisa berbicara
layaknya orang normal di luar sana.
Mengapa bahagia itu
baru datang sekarang? Andaikan dahulu lebih awal, tentu aku lebih bertahan
menjalani hidupku. Rudi benar-benar membawaku ke dalam dunianya. Sampai-sampai
aku terlupa, bahwa aku jauh lebih lemah daripada yang dia maupun aku bayangkan.
Bahkan aku beberapa kali terjatuh saat menjelajahi sawah, demam saat berlari
dalam hujan, sesak napas saat ketakutanku datang, dan pingsan seketika tanpa
ada sebab yang tampak secara jelas.
Namun Rudi, sahabat
yang setia menemaniku. Aku kerap menangis, bukan karena dia menyakitiku, namun
karena ketulusannya menjadi sahabat karibku. Aku belum pernah merasa kasih
sayang selain cinta papa dan mama selama ini. Papa dan mama juga mempercayainya
untuk menjagaku saat bermain di luar sana. Mungkin mereka yang lain telah
melalui masa ini, namun aku jujur, aku baru merasakannya di sini. And i’m very happy.
* * *
* *
7 November 2014
(Rudi)
Antara percaya dan
tidak, semua tentang kita tinggal kenangan. Hatiku hancur berkeping-keping
dalam luka mendalam manakala suara itu dari kejauhan mengabariku. Dengan
perasaan tak menentu aku mendatangi rumahmu secepat mungkin. Aaaaa tegaaaaa.
Mengapa kau pergi secepat ini sayang? Bahkan aku belum sempat menyatakan isi hatiku.
Mengapa kau tak pernah menceritakan penyakitmu?
Oh Tuhan, sebegitu
sayangnya kah kau pada Lila hingga kau panggil dia secepat ini saat aku belum
sadar bahwa semua ini nyata. Kemarin Lila masih dalam genggamanku dan hari ini,
aku memandangimu untuk terakhir kali dengan air mata yang tak henti mengalir
sebelum kau akan beristirahat di pembaringan terakhir. Tuhan, jikalau tak kau
izinkan aku memilikinya di dunia ini, berikanlah aku Lila di surgamu kelak,
doaku dalam sedih kehilangan.
Aku iringi Lila
hingga ada dinding pemisah di antara kami. Aku tak lagi mampu menahan tangis
dukaku saat melihat Lilaku dimasukkan ke liang lahat. Sampai-sampai kakiku
melemah dan tak mampu berdiri. Hingga sore hari, tepat pukul 4 aku masih berada
di samping makam Lila.
Ya, aku memang
menunggu pukul 4 untuk mengulang kisah tanggal 14 Juli silam. Saat pertama kali
aku mengajakmu merambah ke duniaku. Saat aku masih bisa tertawa lepas denganmu
yang masih bertahan dengan napasmu. Ternyata pergimu begitu cepat sayang sehingga
aku belum bersiap diri. Masih banyak lembaran list harapan yang hendak kucapai bersamamu. Ah Lila...
Matahari mulai
tenggelam, kusudahi pertemuan denganmu, untuk selang beberapa waktu aku mungkin
tak akan datang padamu sayang. Bukan untuk alasan membencimu tapi aku tak
sanggup melihatmu, mengingatmu, mengenangmu dalam kisah yang tak sampai setahun
lamanya. Saat daun kamboja berguguran tertiup angin, aku pulang dengan
kehampaan yang diselipi sejuta kenangan indah.
Pontianak,
24 Januari 2014
Tidak ada komentar:
Posting Komentar