Minggu, 30 September 2018

Tak Cukup Setahun


1 Januari 2014
(Lila)
Terlahir sebagai seorang anak pengidap berbagai penyakit komplikasi yang membuatku sulit tuk beradaptasi dengan lingkunganku. Kesuraman masa depan yang selalu menghantuiku karena fisikku yang begitu lemah. Akan tetapi, hal ini dapat tertutupi dengan keadaan orang tuaku yang cukup berada. Andaikan aku dilahirkan dari keluarga fakir, aku rasa aku telah tiada di dunia ini.
Entah berapa banyak obat-obatan yang kutelan, melewati tenggorokanku, beroperasi di dalam tubuhku. Aku berusaha mensyukuri detak jantung dan denyut nadiku di antara senyum dan kebimbangan diriku, maupun orang tuaku. Walau terkadang, aku mengutuk, menggerutuki diriku sendiri yang hadir ke dunia membawa lingkaran kesukaran buat orang-orang di sekitarku. Seolah parasit yang pernah hadir di alam semesta ini.
Terhenti sejenak dalam aktivitas kualami kembali tadi pagi. Asmaku kambuh walaupun hanya beberapa menit berlalu karena papa dan mama telah siap dengan segala kemungkinan yang terjadi padaku dalam setiap detik. Karena kasih sayangnya, mereka menyiapkanku alat-alat yang mempermudah untuk mengatasi seketika saat penyakitku kambuh. Terkadang aku malu sendiri karena telah menyusahkan mereka, namun ketulusan mereka membuatku tegar menjalani beratnya hidupku.
Kenyataan pahit, tetapi sembilan puluh sembilan persen lebih baik telah menguatkan tekad papa yang harus kuterima dengan lapang dada. Kami harus pindah ke pedesaan. Keputusan papa sudah bulat, aku harus menjalani terapi dengan hidup di desa yang bersih. Kuanggukkan kepala dengan setengah hati. Tak ada alasan untukku menolak secara jelas. Kali ini aku mundur, mungkin tuk mengalah.
Hanya saja sekejap mata aku terdiam tuk berpikir, dapatkah aku beradaptasi dengan lingkungan baruku? Sejenak terlintas bayangan yang begitu asing. Aku bukanlah sang pemilik sifat ceria, malah cenderung pemurung dan pendiam. Sepengetahuanku, di pedesaan kehidupan amatlah karib. Sedangkan aku lebih senang berdiam diri di rumah atau mengurung diri di kamar. Aku cuek dengan lingkunganku karena aku tak butuh mereka, tak ada yang memperdulikanku, pikirku.
*   *   *   *   *
29 Februari 2014
(Rudi)
Mengagumimu sedari pertama melihatmu lewat kata-kata sederhana yang tak terucapkan. Walau menoleh sedikitpun tiada kau mau. Enggan tuk bertegur sapa dalam ikatan persaudaraan teman sekelas. Teman-teman mengatakan kau begitu angkuh dan sombong, seolah alergi terhadap kami, tetapi hal itu tidak berlaku bagiku. Aku tahu, dibalik mata indahmu yang redup, menyimpan suatu luka atau penderitaan yang tak kutahu jelas alasannya. Aku tak berani bertanya langsung. Aku takut melukaimu.
Kau manis, tetapi pelit pada senyuman. Sebulan sudah kita sekelas, tapi kau tak pernah tersenyum. Berbicara pun ala kadarnya saat pelajaran berlangsung. Kau cerdas, tetapi tak hendak menunjukkannya. Jika kau berdiskusi atau mencalonkan menjadi ketua OSIS, aku yakin banyak yang memihakmu. Kau anak orang kaya, sedangkan aku berasal dari keluarga sederhana. Kecut nyaliku berhadapan di depanmu. Mereka dari keluarga elit saja, kau tak perdulikan, apalagi aku. Walaupun tampilanmu terlihat biasa dan cenderung sederhana. Namun, apapun bagiku kau terlihat istimewa.
*   *   *   *   *
11 Maret 2014
(Lila)
Aku menangisi kekejaman hidupku. Menyendiri tanpa seseorang yang rela menjadi temanku tuk mendengar keluh kesahku. Aku menginginkan kehidupan nyata yang apa adanya. Beberapa minggu telah kulalui, namun belum seorang temanpun yang kukenal. Aku hanya mengetahui namanya dari bibir sang guru yang menyebut nama siswanya satu persatu. Sekalipun dia yang duduk di sampingku. Lingkungan yang begitu dingin seakan tak menerima kehadiranku.
Pengagum rahasiaku. Aku tak tahu siapa dia dan mungkin tak ingin tahu. Lukisan kata-katanya begitu indah kubaca, namun apabila hendak kuserap, tetap saja terasa bagiku hampa.  Aku rasa, dia hanya mempermainkanku. Nurani yang agaknya telah membeku dalam kesunyian. Aku tak butuh mereka. Benarkah ungkapan ini? Tetapi mengapa aku mendamba seorang teman. Pertanyaan atas jawaban yang belum dapat kuterima hingga saat ini. Aku meresapi kesendirianku dalam diam. Sepi…
*   *   *   *   *
15 April 2014
(Rudi)
Tak ada reaksi atas surat rahasiaku. Apakah kau benar-benar angkuh? Aku kini mulai ragu. Tetapi tak ada alasan yang kuat tuk menyatakan kesombonganmu. Ataukah tulisanku tak menyentuh hati nuranimu untuk sedikit melirik orang di sekitarmu? Mungkinkah kau rindukan masa lalumu? Kenanganmu ketika bersekolah di daerah perkotaan? Atau kau tidak betah bersekolah di kampung halaman tempat kami bernaung? Aku hanya menyusun pertanyaan tanpa bermaksud menuduhmu. Aku hanya pengagum rahasiamu.
Baiklah. Aku akan mencoba menyapamu ketika esok sang mentari menampakkan diri. Saat cerahnya pagi datang, kuharap senyum pertamamu di sini menjadi milikku. Terlalu puitis dan mendamba, tetapi aku bukanlah orang yang berjiwa pengecut dan mudah putus asa. Kerikil dan jurang terjal dalam rentang kehidupan saja mampu kulalui. Aku telah terbiasa dengan kerasnya kehidupan. Tetapi tak bermaksud tuk menaklukkan dirimu dan memikat hatimu. Hidup adalah sebuah proses. Setidaknya menjadi temanmu merupakan kebahagiaan dan kebanggaan tersendiri yang kini tengah hadir dalam khayalku.
*   *   *   *   *
17 April 2014
(Lila)
Apakah aku terlihat begitu sombong dengan dunia luar? Teman-teman yang menyapa, kuabaikan begitu saja. Sering pula kutinggalkan tanpa respon. Kini aku mulai berpikir ulang, mereka yang tak bersahabat denganku atau aku yang berusaha menjauh dari dunia ini? Aku hanya tak ingin bersikap berlebihan. Aku butuh seseorang yang dapat mengikuti jalan pikiranku dan membenahi atau meluruskannya secara perlahan ketika dalam perjalanan. Bukan menuangkannya dalam bentuk nasehat yang menyulut amarah, memuakkan aku.
Jika di hari esok aku merasakan mood yang bagus, aku berharap akan ada kesempatan mereka kembali menegurku, maka akan kusambut uluran tangan itu. Ya, hanya sekedar menyemarakkan suasana. Mencairkan keadaan di sekelilingku yang terasa asing. Aku bukannya tak ingin menjadi bagian dari kalian, menyombongkan diri seolah ratu seperti dalam pikiran kalian. Tetapi aku tak ingin kecewa dengan karakterku yang dianggap aneh ini. Aku malah justru takut akan mempermalukan diriku sendiri di hadapan kalian.
*   *   *   *   *
21 Juni 2014
(Rudi)
Kau tampak anggun dengan jilbab yang membalut wajahmu dengan rapi. Manis. Layak jika ku beri salam daripada kata selamat pagi, begitu pikirku. Walaupun janggal karena selama ini tak pernah kudengar ada seseorang yang mengucapkan salam padanya. Tapi aku akan mencoba karena bukankah menjawab salam merupakan sebuah kewajiban bagi seorang muslim. Aku yakin akan ada reaksi.
“Assalamu’alaikum”
Kau mengangkat kepalamu dan mendesis pelan, “Wa’alaikum salam,” dan tersenyum kecil.
Terima kasih. Aku melonjak kegirangan walaupun tak di depanmu. Seharian aku  senyum sumringah mengingat kejadian pagi tadi. Usahaku tak sia-sia hari ini. Semuanya menjadi melebur dalam rasa yang bercampur aduk. Namun yang ku risaukan, akankah esok hari, berlaku momen yang sama. Aku berharap tak ada satupun momen istimewa yang akan terlewat esok walaupun di dalam detik yang berlainan.
Kelak kau harus tahu, perlahan aku menimbun kasih sayang dalam hatiku. Aku biarkan ia hidup dan kupupuk karena aku tak ingin membiarkannya layu ataupun mencabutnya secara paksa. Kasih ini berlaku dalam banyak posisi. Entah sebagai teman, sahabat, saudara, atau kekasih. Anganku mengharapkan sebuah kedudukan yang terbaik sebagai pilihan hidup. Yang penting, sekarang aku sayang kamu.
*   *   *   *   *
22 Juni 2014
(Lila)
Benarkah? Sungguh seperti harapanku di hari kemarin bahwasanya ada seseorang yang menegurku, justru malah dengan salam yang sopan pula. Subhanallah. Tetapi ada yang kuragukan. Aku tak mengetahui namamu, mengenalmu, bahkan mengingat wajahmu. Apakah kau hanya mengejekku atau setulus hatimu? Tahukah kau? Aku berharap penggemar rahasiaku seperti dirimu.
Tak kusangka, Tuhan begitu baik kepadaku. Mengabulkan permintaanku lebih dari apa yang kuharapkan. Pikiranku melayang bersama khayal dalam harapan yang terus meninggi. Takkan kubiarkan harapanku lepas di awan. Kan kupegang erat. Tapi, mengapa aku terlalu berlebihan menanggapi hal ini? Aku tak perduli, yang penting aku sedikit lebih senang.
*   *   *   *   *
Ternyata pertemuan yang bukan untuk pertama kali itu menghanyutkan Rudi dan Lila. Berharap keajaiban antara satu sama lain. Masa yang indah belum terjamahkan oleh usia jagung mereka. Masih dalam lorong waktu yang kelak kan menggapai mereka dalam dimensi waktu yang berjalan bersama detak jantung yang bertambah. Larut dalam mimpi mengukir cerita membuat kondisi Lila jauh lebih baik daripada yang sebelumnya. Setidaknya ada yang menghapus setitik kesepian dan kejenuhannya untuk terus berdiri di dunia ini.
“Kita sahabat?” tanya Rudi sambil mengacungkan jari kelingkingnya yang kemudian disambut oleh Lila.
“Oke”.
Berminggu-minggu dijalani dengan aktivitas baru dan nuansa baru, lantas membuat Lila merasa suasana desa jauh lebih hangat daripada di kota yang hiruk pikuk dengan problem kehidupan. Lila kerap kali tersenyum mengembang dengan keakraban yang merakyat, bisa tertawa lepas manakala Rudi mengajaknya bermain ke sawah, bisa belajar mengungkapkan apa yang dirasakannya,  yang kini tak selalu dipendamnya lagi dalam kesepian.
*   *   *   *   *
11 Juli 2014
(Lila)
Aku merasa sangat bahagia. Ada secercah cahaya di hidupku, seorang insan berhati malaikat yang dikirim Tuhan untukku tatkala aku merasa bahwa Tuhan itu tidak adil. Terimakasih Tuhan. Hari-hariku yang dahulunya penuh kebosanan dan kekecewaan, kini telah berubah seratus delapan puluh derajat. Aku bisa tertawa, bernyanyi, menari sesukaku, berlari bebas ke sana kemari. Bahkan aku bisa berbicara layaknya orang normal di luar sana.
Mengapa bahagia itu baru datang sekarang? Andaikan dahulu lebih awal, tentu aku lebih bertahan menjalani hidupku. Rudi benar-benar membawaku ke dalam dunianya. Sampai-sampai aku terlupa, bahwa aku jauh lebih lemah daripada yang dia maupun aku bayangkan. Bahkan aku beberapa kali terjatuh saat menjelajahi sawah, demam saat berlari dalam hujan, sesak napas saat ketakutanku datang, dan pingsan seketika tanpa ada sebab yang tampak secara jelas.
Namun Rudi, sahabat yang setia menemaniku. Aku kerap menangis, bukan karena dia menyakitiku, namun karena ketulusannya menjadi sahabat karibku. Aku belum pernah merasa kasih sayang selain cinta papa dan mama selama ini. Papa dan mama juga mempercayainya untuk menjagaku saat bermain di luar sana. Mungkin mereka yang lain telah melalui masa ini, namun aku jujur, aku baru merasakannya di sini. And i’m very happy.
*   *   *   *   *
7 November 2014
(Rudi)
Antara percaya dan tidak, semua tentang kita tinggal kenangan. Hatiku hancur berkeping-keping dalam luka mendalam manakala suara itu dari kejauhan mengabariku. Dengan perasaan tak menentu aku mendatangi rumahmu secepat mungkin. Aaaaa tegaaaaa. Mengapa kau pergi secepat ini sayang? Bahkan aku belum sempat menyatakan isi hatiku. Mengapa kau tak pernah menceritakan penyakitmu?
Oh Tuhan, sebegitu sayangnya kah kau pada Lila hingga kau panggil dia secepat ini saat aku belum sadar bahwa semua ini nyata. Kemarin Lila masih dalam genggamanku dan hari ini, aku memandangimu untuk terakhir kali dengan air mata yang tak henti mengalir sebelum kau akan beristirahat di pembaringan terakhir. Tuhan, jikalau tak kau izinkan aku memilikinya di dunia ini, berikanlah aku Lila di surgamu kelak, doaku dalam sedih kehilangan.
Aku iringi Lila hingga ada dinding pemisah di antara kami. Aku tak lagi mampu menahan tangis dukaku saat melihat Lilaku dimasukkan ke liang lahat. Sampai-sampai kakiku melemah dan tak mampu berdiri. Hingga sore hari, tepat pukul 4 aku masih berada di samping makam Lila.
Ya, aku memang menunggu pukul 4 untuk mengulang kisah tanggal 14 Juli silam. Saat pertama kali aku mengajakmu merambah ke duniaku. Saat aku masih bisa tertawa lepas denganmu yang masih bertahan dengan napasmu. Ternyata pergimu begitu cepat sayang sehingga aku belum bersiap diri. Masih banyak lembaran list harapan yang hendak kucapai bersamamu. Ah Lila...
Matahari mulai tenggelam, kusudahi pertemuan denganmu, untuk selang beberapa waktu aku mungkin tak akan datang padamu sayang. Bukan untuk alasan membencimu tapi aku tak sanggup melihatmu, mengingatmu, mengenangmu dalam kisah yang tak sampai setahun lamanya. Saat daun kamboja berguguran tertiup angin, aku pulang dengan kehampaan yang diselipi sejuta kenangan indah.
Pontianak, 24 Januari 2014


Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Kaos Kaki Jempol Tapak Hitam

Kaos Kaki Jempol _____________________________________________________ Bahan lembut, lentur, nyaman di kaki dan telapak hitam, jadi tidak mu...